Syaikh Zainuddin
al-Malibari dalam sya’irnya menyebutkan:
تَقْوَى الإلَهِ مَصْدَرُ كُلِّ سَعَادَةٍ ﴿﴾ وَتِّبَاعُ أَهْوَا رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلَ
“Takwa
kepada Allah adalah pokok dari segala keberuntungan.
Dan mengikuti nafsu adalah pokok keburukan
tipu daya setan”.
Arti dari takwa ialah, mengikuti perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya, baik lahir maupun batin, disertai perasaan ta’dzim, haibah, khosyyah dan rohbah
kepada Allah. kebaikan dunia dan ahirat hanya bisa diperoleh melalui takwa, dan
keburukan dunia dan ahirat hanya bisa dihindari dengan takwa. Takwa merupakan
wasiat Allah kepada manusia periode awal dan manusia periode ahir. Allah
berfirman:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ
“Dan sungguh kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah”.
(QS. An-Nisa: 131).
Jalan
yang menghantarkan kita agar mudah mencapai takwa terdiri dari tiga elemen;
syari’at, tarekat dan hakikat.[1]
Tiga
elemen ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Syariat
tanpa hakikat akan menjadi batal, dan hakikat tanpa syariat akan menjadi hampa.
Syariat tanpa hakikat terlihat pada orang-orang yang melakukan amal dengan
motivasi surga. Lalu ia berkata: Seandainya tidak ada amalku, tentu aku tidak
akan masuk surga. Ucapan di atas merupakan bukti dari syariat yang kosong, artinya,
wujudnya syariat, sama dengan tidak wujudnya. Karena pada hakikatnya, surga
diperoleh tidak karena amal, melainkan atas anugerah Allah.
Kemudian
hakikat tanpa syariat terjadi pada orang yang diperintahkan shalat, lalu
berkata: Aku tidak perlu melakukan shalat, sebab keberuntungan itu telah
digariskan sejak zaman azali. Jika
aku digariskan menjadi orang yang beruntung, aku akan masuk surga. Dan jika
tidak, aku akan masuk neraka, walau pun aku melakukan shalat.[2]
Imam
Malik pernah berkata, “Barangsiapa melakukan syariat tanpa hakikat, maka ia
adalah fasiq (hipokrit). Dan
barangsiapa mengaku mencapai derajat hakikat dan tidak bersyariat, sungguh dia
telah zindik (ateis). Yang benar
adalah mengumpulkan keduanya”.[3]
Syariat
bagaikan perahu. Dengan perahu itulah, tujuan akan tercapai dan selamat dari
kehancuran. Tarekat bagaikan lautan yang di dasarnya terdapat intan. Dan
hakikat bagaikan intan yang berharga. Intan hanya ada di lautan, dan lautan
hanya bisa diarungi dengan perahu. Jadi syariat dan hakikat merupakan kesatuan
integral, seperti air yang ada dalam batang tumbuhan, atau seperti ruh dalam
jasad. Syariat selayaknya batang, tarekat selayaknya dahan, dan kakikat
selayaknya buah.[4]
Ringkasnya,
seorang hamba diwajibkan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, akan
tetapi ia tidak diperkenankan meyakini, bahwa amal itulah yang
menyelamatkannya, dan memasukkannya ke dalam surga. Bahkan ia harus melihat
amal tersebut sebagi wujud ketundukannya pada perintah Allah, yang telah
memberi perintah dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya”.
(QS. Az-Zumar: 02)
Pahala Allah diberikan semata karena anugerah, dan
siksa Allah diberikan semata karena keadilan-Nya, “Allah tidak ditanya terhadap apa yang telah Ia kerjakan”.[5]
Di antara sekian banyak perintah Allah ialah sterilisasi
batin dari ahlak-ahlak yang tidak terpuji. Seorang yang ‘sakit’ hatinya wajib
mencari seorang syaikh atau mursyid
yang membimbingnya keluar dari penyakit-penyakit hati yang membinasakan.
Bahkan, ketika di daerahnya tidak ada, ia harus mencari syaikh ke luar daerah.
Mencari seorang syaikh atau pembimbing rohani merupakan aktualisasi dari kaidah
ushul:
مَا لاَ يَتِمُّ
الوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Ketika
sebuah kewajiban tidak bisa sempurna, kecuali dengan melakukan sesuatu, maka
sesuatu (yang menjadi penyempurna) itu hukumnya juga wajib”.[6]
Setelah kita mengetahui, bahwa
memiliki syaikh (guru tarekat) merupakan sebuah keniscayaan, maka kita harus
memilih syaikh yang benar-benar kapabel dan memenuhi kriteria. Dan di antara
para syaikh yang memiliki kapabilitas tinggi ialah Imam al-Ghazali dan Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani.
Namun sayang, ada sebagian kelompok umat islam yang menuduh kedua
syaikh itu sebagai penganut faham Jahiliyah dan kemusyrikan. Disayangkan juga, mereka tidak menjelaskan secara konkrit, mana yang jahiliyah dan mana yang musyrik
dari ajaran al-Ghazali dan al-Jilani. Seandainya mereka bersedia menjelaskan,
kita bisa mendiskusikannya besama-sama dalam tulisan ini. Karena itu kami
yakin, tuduhan itu dilontarkan oleh orang-orang yang latah, ikut-ikutan, dan
belum mengenal dengan baik ajaran al-Ghazali atau al-Jilani.
Karena tidak ada transparansi, dan
kami tidak tahu mana yang harus didiskusikan, sebaiknya penulis menyampaikan
sebagian kecil tuduhan, atau serangan-serangan yang dialamatkan kepada imam
al-Ghazali. Tuduhan tersebut disampaikan oleh kelompok anti tasawwuf dari
generasi yang telah lampau.[7]
Dalam Ihya’
Ulûmud Dîen, al-Ghazali, dengan mengutip ucapan Abu Sulaiman ad-Daroni, ia
mengatakan: Ketika seorang mencari ilmu hadits, mencari materi atau menikah,
maka ia telah cenderung dengan dunia.
Para penentang al-Ghazali mengatakan: Statemen
al-Ghazali di atas tidak sesuai dengan ajaran syariat. Bagaimana mungkin
menuntut ilmu hadits dilarang, padahal Nabi telah bersabda, “Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan
sayap-sayapnya untuk pencari ilmu”. Bagaimana bisa mencari materi dilarang,
padahal Sayyidina Umar berkata, “Sungguh
jika aku mati, karena lelah kakiku melangkah untuk mencari kebutuhan hidupku
(materi), itu lebih menyenangkan dari pada aku mati dalam medan perang guna menegakkan agama Allah”.
dan bagaimana nikah dilarang, sementara Nabi bersabda, “Menikahlah, buatlah keturunan”. Statemen kaum sufi ini telah
melanggar syariat.
Konfutasi
(sanggahan):
Ulama sekaliber al-Ghazali tentu
telah mengetahui semua dalil di atas, buktinya, di tempat lain dalam Ihya’ beliau memuji ilmu hadits, memuji
orang yang mencari materi, dan menuji pernikahan. Karena itu, kita harus
memahami, dalam konteks apa al-Ghazali berbicara. Yang dikehendaki oleh
al-Ghazali ialah: Bersentuhan dengan tiga hal di atas, biasanya akan
menimbulkan dampak negetif. Orang yang tekun dengan ilmu hadits akan identik
dengan kekuasaan; artinya, ia akan dijadikan panutan dan tokoh masyarakat,
sehingga masyarakat memuliakan dan menghormatinya. Padahal sedikit sekali yang
bisa menghindari perasaan suka pada kehormatan dan pangkat. kehawatiran semacam
itu tidak dialami oleh mereka-mereka yang tidak menekuni hadits.
Sedangkan orang-orang yang mencari
materi, mereka hampir tidak bisa lepas dari kecenderungan terhadap duniawi,
mereka akan menjadi materialistis, kecuali orang-orang yang telah mencapai
kesempurnaan dalam suluk dan bisa
menakar sesuatu sesuai dengan porsinya.
Kemudian dalam pernikahan, di sana jelas ada
kecenderungan terhadap dunia, sebab pada umumnya, manusia menikah karena ingin
merasakan kenikmatan biologis. Kesenangan itu tidak bisa diraih kecuali mereka
bersedia memasuki area penuh resiko, dan sebenarnya resiko-resiko itu tidak
akan dirasakan oleh orang-orang yang tidak beristri. Apalagi ketika pernikahan
itu dilakukan oleh mereka yang ekonominya belum mapan, maka resiko itu semakin
besar. Ibadah mereka menjadi rentan dengan riya’,
ia berharap agar orang lain menilainya sebagai orang shaleh dan pantas untuk
diberi hadiah harta. Dalam hadits disebutkan:
سَيَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَكُوْنُ هَلاَكُ الرَّجُلِ عَلَى يَدِ
زَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ –إلى أن قال- وَذَلِكَ أَنَّهُمْ يُعَيِّرُوْنَهُ بِضِيْقِ الْمَعِيْشَةِ
إلى أَنْ يُوْرِدَهُ مَوَارِدَ الْهَلاَكِ
“Akan
datang pada umatku sebuah zaman, hancurnya seorang laki-laki ada di tangan
istri dan anak-anaknya –sampai pada sabda Nabi– hal tersebut terjadi karena
mereka mencela laki-laki itu akibat sempitnya ekonomi, hingga hal itu
menghantarkannya pada tempat kehancuran”.
Ihya’ juga mengutip statemen al-Junaid: Ketika anak
merupakan hukuman dari syahwat (renjana) yang halal, lantas bagaimana persepsi
Anda, tentang hukuman dari syahwat yang haram?
Statemen al-Junaid ini kemudian
dikritik oleh Ibnu Qoyyim dengan mengatakan: Ini merupakan kesalahan dari al-Junaid
dan orang-orang yang sefaham dengannya. Sesungguhnya bersetubuh (jima’) merupakan perbuatan yang sunah,
atau minimal mubah. Sesuai dengan kaidah syariat, perbuatan sunah atau mubah
tidak ada hukumannya.
Konfutasi:
Yang dikehendaki oleh al-Junaid ialah,
hukuman yang timbul sebagai dampak logis dari persetubuhan itu, bukan hukuman
dari persetubuhan itu sendiri. Dalam al-Qur’an, Allah telah menyebut
istri-istri dan anak kalian sebagai fitnah. Sehingga kita harus berhati-hati,
sebab istri dan anak berpotensi menjerumuskan kita dalam kubangan dosa.
Hal lain yang menjadi bahan kritik
Ibnu Qoyyim adalah cerita Abil Hasan Ad-Dainuri yang melakukan haji sebanyak
dua belas kali. Dalam perjalanan haji itu, ad-Dainuri berjalan dengan telanjang
kaki dan tanpa penutup kepala.
Dalam komentarnya Ibnu Qoyyim
mengatakan: Ini adalah tindakan yang sangat bodoh, karena akan menyakiti kepala
dan telapak kaki. Di tanah yang ia lewati tentu banyak duri dan tempat terjal.
Kaum sufi seolah ingin membuat syariat
baru yang mereka sebut dengan tasawwuf, dan meninggalkan syariat Nabi Muhammad
saw. –aku berlindung dari tipuan Iblis. Sesungguhnya cerita semacam ini bisa
merusak akidah masyarakat awam, dan mereka menyangka bahwa tindakan itu adalah
tindakan yang benar.
Konfutasi:
Sebaiknya Ibnu Qoyyim tidak lekas
mengingkari tindakan seseorang yang merusak dirinya untuk mencapai keridlaan
Allah. Terkadang orang yang melakukan haji dengan cara demikian, pernah
melakukan dosa, dan dosa itu ia anggap sebagai dosa besar, sehingga ia
menyangka bahwa Allah telah murka padanya. Karena itulah, lantas ia melakukan
perjalanan haji dengan telanjang kaki dan tidak memakai tutup kepala. Dengan
cara merendah seperti itu, ia berharap bisa lepas dari murka Tuhannya.
Diceritakan, Sufyan ats-Tsauri
pernah melakukan perjalanan haji dari Basrah dengan tanpa memakai alas kaki.
Lalu ia disambut oleh Fudlail bin Iyadl, Ibnu Adham dan Ibnu Uyainah dari luar
Makkah. Mereka bertanya pada Sufyan: Wahai Abu Abdilllah! Kenapa kau tidak
mengasihani dirimu sendiri, dengan menaiki kendaraan, walaupun itu himar?
Sufyan menjawab: Apakah seorang budak yang lari dari tuannya, lalu pulang untuk
meminta maaf, berani kembali dengan menunggang kendaraan? Fudlail dan yang lain
pun menangis.
Al-Ghazali juga pernah mengatakan:
Menyibukkan diri dengan ilmu lahiriah adalah sia-sia.
Statemen ini kontan menuai kritik
dari Ibnu Qoyyim. Menurutnya, Statemen tersebut merupakan salah satu kebodohan
al-Ghazali. Tujuan kaum sufi mencela ilmu pengetahuan tidak lain adalah, karena
mereka melihat, menekuni ilmu pengetahuan tidak akan lekas menghantarkan mereka
pada derajat seorang pemimpin. Berbeda dengan metode bid’ah mereka, yakni
dengan mengenakan pakaian sufi, shalat malam, puasa di siang hari dan memotong
pakaian mereka.
Konfutasi:
Yang dikehendaki al-Ghazali adalah:
Menekuni ilmu dengan cara berdebat (jadal)
merupakan tindakan sia-sia jika di banding dengan metode ulama âmilin. Yang dikehendaki bukan sia-sia
dari semua aspek. Bagaimana mungkin al-Ghazali memiliki pandangan sebagaimana
tuduhan Ibnu Qoyyim. Al-Ghazali tahu betul bahwa ilmu syariat merupakan
pondamen dalam tasawwuf. Syariat akan meluruskan ibadah lahiriyah, dan hakikat
akan meluruskan ibadah batiniah, sehingga ibadah itu bisa diterima Allah,
dengan anugerah-Nya.
Kritikan lain juga disampaikan
terkait dengan statemen al-Ghazali: Ketahuilah! Sesungguhnya yang menjadi
kecenderungan ahli tasawwuf hanyalah ilmu ladunni,
bukan ilmu an-naqliyyah (riwayat).
Karena itulah mereka tidak mempelajari ilmu dan karya para penulis. Mereka
hanya fokus pada Allah dan zikir kepada-Nya.
Mereka mengkritik statemen ini dengan
mengatakan: Nabi telah memberi sugesti untuk mencari ilmu, lalu bagaimana
al-Ghazali memuji kaum sufi yang tidak mau mempelajari ilmu? Kata-kata ini
jarang keluar dari orang yang disiplin syariat (mutasyarri’), karena jelas, ini adalah kata-kata yang kotor. Hakikatnya,
hal ini bagaikan melipat permadani syariat. Jika kita mengikuti madzhab ini,
maka tiada lagi keutamaan para ulama yang tersebar ke seantero negeri, karena
mereka tidak menempuh jalan tasawwuf sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali.
Ketika manusia telah enggan menekuni ilmu syariat, maka hati mereka tidak akan
mengetahui godaan dan rekayasa tasawwuf. Sehingga, tiada lagi ilmu yang bisa
menolak godaan dan rekayasa itu, dan pada ahirnya manusia gemar bermain-main
dengan tasawwuf bersama Iblis.
Konfutasi:
Apa yang diceritakan al-Ghazali
mengenai kaum sufi di atas, ialah kondisi seseorang, setelah ia memiliki ilmu
syariat yang mantap. Sebab al-Ghazali sendiri pernah meriwayatkan konsensus
ulama tasawwuf yang menyebutkan, “Tidak baik bagi seseorang, untuk memasuki
tarekat kaum sufi, kecuali ia telah mendalami ilmu syariat, sekira ia mampu
menaklukkan ulama syariat dengan hujjah-hujjah dalam arena debat. Maka kita
tidak boleh mengarahkan komentar al-Ghazali pada pemahaman bahwa ia memuji
orang-orang yang fokus dengan tarekat kaum sufi dengan tanpa dibekali
pengetahuan syariat.
Sebenarnya masih banyak lagi
beberapa komentar miring yang dialamatkan pada kaum sufi, hususnya Imam
Ghazali. Mungkin sedikit contoh di atas bisa dijadikan bahan renungan, ternyata
para mutashowwif (penempuh jalan
tasawwuf) mempunyai pemahaman yang lebih mendalam dalam setiap
ungkapan-ungkapaan mereka, yang mungkin dianggap kontroversial oleh sebagian
pihak.
Semoga kita mendapat petunjuk menuju
jalan yang terang. Amin 1 jt x.
[1] Sayyid Bakr al-Maki, Kifayatul
Atqiya’, Semarang:
Toha Putra, hlm. 7-8.
[2] Ibid.
[3] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwîrul
Qulûb, Beirut:
Dârul Kutub al-Ilmiyah, hlm. 438.
[4] Ibid.
[5] Sayyid Bakr al-Maki, op.cit.
hlm. 9.
[6] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, op.cit.
hlm. 434
[7] Dikutip dari Syaikh Ihsan
Muhammad Dahlan al-Jampesi, op.cit. vol I, hlm. 27-33.
The Best Videos on Youtube
BalasHapusThis page uses cookies and adverts for the purpose of promoting this page. For more information about our use of cookies we also · 1. Watch youtube to mp3 convert the Live Videos · 2. Watch the Highlights · 3. Watch The Full Game · 4. Watch