Perjalanan Tarekat

thumbnail


thoriqoh

Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam sya’irnya menyebutkan:
تَقْوَى الإلَهِ مَصْدَرُ كُلِّ سَعَادَةٍ   ﴿﴾  وَتِّبَاعُ أَهْوَا رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلَ
“Takwa kepada Allah adalah pokok dari segala keberuntungan.
Dan mengikuti nafsu adalah pokok keburukan tipu daya setan”.
            Arti dari takwa ialah, mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, baik lahir maupun batin, disertai perasaan ta’dzim, haibah, khosyyah dan rohbah kepada Allah. kebaikan dunia dan ahirat hanya bisa diperoleh melalui takwa, dan keburukan dunia dan ahirat hanya bisa dihindari dengan takwa. Takwa merupakan wasiat Allah kepada manusia periode awal dan manusia periode ahir. Allah berfirman:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ
“Dan sungguh kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah”. (QS. An-Nisa: 131). 
Jalan yang menghantarkan kita agar mudah mencapai takwa terdiri dari tiga elemen; syari’at, tarekat dan hakikat.[1]
Tiga elemen ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Syariat tanpa hakikat akan menjadi batal, dan hakikat tanpa syariat akan menjadi hampa. Syariat tanpa hakikat terlihat pada orang-orang yang melakukan amal dengan motivasi surga. Lalu ia berkata: Seandainya tidak ada amalku, tentu aku tidak akan masuk surga. Ucapan di atas merupakan bukti dari syariat yang kosong, artinya, wujudnya syariat, sama dengan tidak wujudnya. Karena pada hakikatnya, surga diperoleh tidak karena amal, melainkan atas anugerah Allah. 
Kemudian hakikat tanpa syariat terjadi pada orang yang diperintahkan shalat, lalu berkata: Aku tidak perlu melakukan shalat, sebab keberuntungan itu telah digariskan sejak zaman azali. Jika aku digariskan menjadi orang yang beruntung, aku akan masuk surga. Dan jika tidak, aku akan masuk neraka, walau pun aku melakukan shalat.[2]
Imam Malik pernah berkata, “Barangsiapa melakukan syariat tanpa hakikat, maka ia adalah fasiq (hipokrit). Dan barangsiapa mengaku mencapai derajat hakikat dan tidak bersyariat, sungguh dia telah zindik (ateis). Yang benar adalah mengumpulkan keduanya”.[3]
Syariat bagaikan perahu. Dengan perahu itulah, tujuan akan tercapai dan selamat dari kehancuran. Tarekat bagaikan lautan yang di dasarnya terdapat intan. Dan hakikat bagaikan intan yang berharga. Intan hanya ada di lautan, dan lautan hanya bisa diarungi dengan perahu. Jadi syariat dan hakikat merupakan kesatuan integral, seperti air yang ada dalam batang tumbuhan, atau seperti ruh dalam jasad. Syariat selayaknya batang, tarekat selayaknya dahan, dan kakikat selayaknya buah.[4] 

Ringkasnya, seorang hamba diwajibkan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, akan tetapi ia tidak diperkenankan meyakini, bahwa amal itulah yang menyelamatkannya, dan memasukkannya ke dalam surga. Bahkan ia harus melihat amal tersebut sebagi wujud ketundukannya pada perintah Allah, yang telah memberi perintah dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya”. (QS. Az-Zumar: 02)
Pahala Allah diberikan semata karena anugerah, dan siksa Allah diberikan semata karena keadilan-Nya, “Allah tidak ditanya terhadap apa yang telah Ia kerjakan”.[5]

            Di antara sekian banyak perintah Allah ialah sterilisasi batin dari ahlak-ahlak yang tidak terpuji. Seorang yang ‘sakit’ hatinya wajib mencari seorang syaikh atau mursyid yang membimbingnya keluar dari penyakit-penyakit hati yang membinasakan. Bahkan, ketika di daerahnya tidak ada, ia harus mencari syaikh ke luar daerah. Mencari seorang syaikh atau pembimbing rohani merupakan aktualisasi dari kaidah ushul:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Ketika sebuah kewajiban tidak bisa sempurna, kecuali dengan melakukan sesuatu, maka sesuatu (yang menjadi penyempurna) itu hukumnya juga wajib”.[6]

            Setelah kita mengetahui, bahwa memiliki syaikh (guru tarekat) merupakan sebuah keniscayaan, maka kita harus memilih syaikh yang benar-benar kapabel dan memenuhi kriteria. Dan di antara para syaikh yang memiliki kapabilitas tinggi ialah Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. 
            Namun sayang, ada sebagian kelompok umat islam yang menuduh kedua syaikh itu sebagai penganut faham Jahiliyah dan kemusyrikan. Disayangkan juga, mereka tidak menjelaskan secara konkrit, mana yang jahiliyah dan mana yang musyrik dari ajaran al-Ghazali dan al-Jilani. Seandainya mereka bersedia menjelaskan, kita bisa mendiskusikannya besama-sama dalam tulisan ini. Karena itu kami yakin, tuduhan itu dilontarkan oleh orang-orang yang latah, ikut-ikutan, dan belum mengenal dengan baik ajaran al-Ghazali atau al-Jilani.
            Karena tidak ada transparansi, dan kami tidak tahu mana yang harus didiskusikan, sebaiknya penulis menyampaikan sebagian kecil tuduhan, atau serangan-serangan yang dialamatkan kepada imam al-Ghazali. Tuduhan tersebut disampaikan oleh kelompok anti tasawwuf dari generasi yang telah lampau.[7]

Dalam Ihya’ Ulûmud Dîen, al-Ghazali, dengan mengutip ucapan Abu Sulaiman ad-Daroni, ia mengatakan: Ketika seorang mencari ilmu hadits, mencari materi atau menikah, maka ia telah cenderung dengan dunia.

Para penentang al-Ghazali mengatakan: Statemen al-Ghazali di atas tidak sesuai dengan ajaran syariat. Bagaimana mungkin menuntut ilmu hadits dilarang, padahal Nabi telah bersabda, “Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya untuk pencari ilmu”. Bagaimana bisa mencari materi dilarang, padahal Sayyidina Umar berkata, “Sungguh jika aku mati, karena lelah kakiku melangkah untuk mencari kebutuhan hidupku (materi), itu lebih menyenangkan dari pada aku mati dalam medan perang guna menegakkan agama Allah”. dan bagaimana nikah dilarang, sementara Nabi bersabda, “Menikahlah, buatlah keturunan”. Statemen kaum sufi ini telah melanggar syariat.

Konfutasi (sanggahan):
            Ulama sekaliber al-Ghazali tentu telah mengetahui semua dalil di atas, buktinya, di tempat lain dalam Ihya’ beliau memuji ilmu hadits, memuji orang yang mencari materi, dan menuji pernikahan. Karena itu, kita harus memahami, dalam konteks apa al-Ghazali berbicara. Yang dikehendaki oleh al-Ghazali ialah: Bersentuhan dengan tiga hal di atas, biasanya akan menimbulkan dampak negetif. Orang yang tekun dengan ilmu hadits akan identik dengan kekuasaan; artinya, ia akan dijadikan panutan dan tokoh masyarakat, sehingga masyarakat memuliakan dan menghormatinya. Padahal sedikit sekali yang bisa menghindari perasaan suka pada kehormatan dan pangkat. kehawatiran semacam itu tidak dialami oleh mereka-mereka yang tidak menekuni hadits.
            Sedangkan orang-orang yang mencari materi, mereka hampir tidak bisa lepas dari kecenderungan terhadap duniawi, mereka akan menjadi materialistis, kecuali orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam suluk dan bisa menakar sesuatu sesuai dengan porsinya. 
            Kemudian dalam pernikahan, di sana jelas ada kecenderungan terhadap dunia, sebab pada umumnya, manusia menikah karena ingin merasakan kenikmatan biologis. Kesenangan itu tidak bisa diraih kecuali mereka bersedia memasuki area penuh resiko, dan sebenarnya resiko-resiko itu tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang tidak beristri. Apalagi ketika pernikahan itu dilakukan oleh mereka yang ekonominya belum mapan, maka resiko itu semakin besar. Ibadah mereka menjadi rentan dengan riya’, ia berharap agar orang lain menilainya sebagai orang shaleh dan pantas untuk diberi hadiah harta. Dalam hadits disebutkan:
سَيَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَكُوْنُ هَلاَكُ الرَّجُلِ عَلَى يَدِ زَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ إلى أن قال- وَذَلِكَ أَنَّهُمْ يُعَيِّرُوْنَهُ بِضِيْقِ الْمَعِيْشَةِ إلى أَنْ يُوْرِدَهُ مَوَارِدَ الْهَلاَكِ
“Akan datang pada umatku sebuah zaman, hancurnya seorang laki-laki ada di tangan istri dan anak-anaknya –sampai pada sabda Nabi– hal tersebut terjadi karena mereka mencela laki-laki itu akibat sempitnya ekonomi, hingga hal itu menghantarkannya pada tempat kehancuran”.

            Ihya’ juga mengutip statemen al-Junaid: Ketika anak merupakan hukuman dari syahwat (renjana) yang halal, lantas bagaimana persepsi Anda, tentang hukuman dari syahwat yang haram?
           
            Statemen al-Junaid ini kemudian dikritik oleh Ibnu Qoyyim dengan mengatakan: Ini merupakan kesalahan dari al-Junaid dan orang-orang yang sefaham dengannya. Sesungguhnya bersetubuh (jima’) merupakan perbuatan yang sunah, atau minimal mubah. Sesuai dengan kaidah syariat, perbuatan sunah atau mubah tidak ada hukumannya.
           
            Konfutasi:
            Yang dikehendaki oleh al-Junaid ialah, hukuman yang timbul sebagai dampak logis dari persetubuhan itu, bukan hukuman dari persetubuhan itu sendiri. Dalam al-Qur’an, Allah telah menyebut istri-istri dan anak kalian sebagai fitnah. Sehingga kita harus berhati-hati, sebab istri dan anak berpotensi menjerumuskan kita dalam kubangan dosa.

            Hal lain yang menjadi bahan kritik Ibnu Qoyyim adalah cerita Abil Hasan Ad-Dainuri yang melakukan haji sebanyak dua belas kali. Dalam perjalanan haji itu, ad-Dainuri berjalan dengan telanjang kaki dan tanpa penutup kepala.
            Dalam komentarnya Ibnu Qoyyim mengatakan: Ini adalah tindakan yang sangat bodoh, karena akan menyakiti kepala dan telapak kaki. Di tanah yang ia lewati tentu banyak duri dan tempat terjal. Kaum sufi seolah ingin membuat  syariat baru yang mereka sebut dengan tasawwuf, dan meninggalkan syariat Nabi Muhammad saw. –aku berlindung dari tipuan Iblis. Sesungguhnya cerita semacam ini bisa merusak akidah masyarakat awam, dan mereka menyangka bahwa tindakan itu adalah tindakan yang benar.
           
            Konfutasi:
            Sebaiknya Ibnu Qoyyim tidak lekas mengingkari tindakan seseorang yang merusak dirinya untuk mencapai keridlaan Allah. Terkadang orang yang melakukan haji dengan cara demikian, pernah melakukan dosa, dan dosa itu ia anggap sebagai dosa besar, sehingga ia menyangka bahwa Allah telah murka padanya. Karena itulah, lantas ia melakukan perjalanan haji dengan telanjang kaki dan tidak memakai tutup kepala. Dengan cara merendah seperti itu, ia berharap bisa lepas dari murka Tuhannya.
            Diceritakan, Sufyan ats-Tsauri pernah melakukan perjalanan haji dari Basrah dengan tanpa memakai alas kaki. Lalu ia disambut oleh Fudlail bin Iyadl, Ibnu Adham dan Ibnu Uyainah dari luar Makkah. Mereka bertanya pada Sufyan: Wahai Abu Abdilllah! Kenapa kau tidak mengasihani dirimu sendiri, dengan menaiki kendaraan, walaupun itu himar? Sufyan menjawab: Apakah seorang budak yang lari dari tuannya, lalu pulang untuk meminta maaf, berani kembali dengan menunggang kendaraan? Fudlail dan yang lain pun menangis.

            Al-Ghazali juga pernah mengatakan: Menyibukkan diri dengan ilmu lahiriah adalah sia-sia.
            Statemen ini kontan menuai kritik dari Ibnu Qoyyim. Menurutnya, Statemen tersebut merupakan salah satu kebodohan al-Ghazali. Tujuan kaum sufi mencela ilmu pengetahuan tidak lain adalah, karena mereka melihat, menekuni ilmu pengetahuan tidak akan lekas menghantarkan mereka pada derajat seorang pemimpin. Berbeda dengan metode bid’ah mereka, yakni dengan mengenakan pakaian sufi, shalat malam, puasa di siang hari dan memotong pakaian mereka.
            Konfutasi:
            Yang dikehendaki al-Ghazali adalah: Menekuni ilmu dengan cara berdebat (jadal) merupakan tindakan sia-sia jika di banding dengan metode ulama âmilin. Yang dikehendaki bukan sia-sia dari semua aspek. Bagaimana mungkin al-Ghazali memiliki pandangan sebagaimana tuduhan Ibnu Qoyyim. Al-Ghazali tahu betul bahwa ilmu syariat merupakan pondamen dalam tasawwuf. Syariat akan meluruskan ibadah lahiriyah, dan hakikat akan meluruskan ibadah batiniah, sehingga ibadah itu bisa diterima Allah, dengan anugerah-Nya.  
           
            Kritikan lain juga disampaikan terkait dengan statemen al-Ghazali: Ketahuilah! Sesungguhnya yang menjadi kecenderungan ahli tasawwuf hanyalah ilmu ladunni, bukan ilmu an-naqliyyah (riwayat). Karena itulah mereka tidak mempelajari ilmu dan karya para penulis. Mereka hanya fokus pada Allah dan zikir kepada-Nya.

            Mereka mengkritik statemen ini dengan mengatakan: Nabi telah memberi sugesti untuk mencari ilmu, lalu bagaimana al-Ghazali memuji kaum sufi yang tidak mau mempelajari ilmu? Kata-kata ini jarang keluar dari orang yang disiplin syariat (mutasyarri’), karena jelas, ini adalah kata-kata yang kotor. Hakikatnya, hal ini bagaikan melipat permadani syariat. Jika kita mengikuti madzhab ini, maka tiada lagi keutamaan para ulama yang tersebar ke seantero negeri, karena mereka tidak menempuh jalan tasawwuf sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Ketika manusia telah enggan menekuni ilmu syariat, maka hati mereka tidak akan mengetahui godaan dan rekayasa tasawwuf. Sehingga, tiada lagi ilmu yang bisa menolak godaan dan rekayasa itu, dan pada ahirnya manusia gemar bermain-main dengan tasawwuf bersama Iblis. 

            Konfutasi:
            Apa yang diceritakan al-Ghazali mengenai kaum sufi di atas, ialah kondisi seseorang, setelah ia memiliki ilmu syariat yang mantap. Sebab al-Ghazali sendiri pernah meriwayatkan konsensus ulama tasawwuf yang menyebutkan, “Tidak baik bagi seseorang, untuk memasuki tarekat kaum sufi, kecuali ia telah mendalami ilmu syariat, sekira ia mampu menaklukkan ulama syariat dengan hujjah-hujjah dalam arena debat. Maka kita tidak boleh mengarahkan komentar al-Ghazali pada pemahaman bahwa ia memuji orang-orang yang fokus dengan tarekat kaum sufi dengan tanpa dibekali pengetahuan syariat.

            Sebenarnya masih banyak lagi beberapa komentar miring yang dialamatkan pada kaum sufi, hususnya Imam Ghazali. Mungkin sedikit contoh di atas bisa dijadikan bahan renungan, ternyata para mutashowwif (penempuh jalan tasawwuf) mempunyai pemahaman yang lebih mendalam dalam setiap ungkapan-ungkapaan mereka, yang mungkin dianggap kontroversial oleh sebagian pihak.
            Semoga kita mendapat petunjuk menuju jalan yang terang. Amin 1 jt x.


[1] Sayyid Bakr al-Maki, Kifayatul Atqiya’, Semarang: Toha Putra, hlm. 7-8.
[2] Ibid.
[3] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwîrul Qulûb, Beirut: Dârul Kutub al-Ilmiyah, hlm. 438.
[4] Ibid.
[5] Sayyid Bakr al-Maki, op.cit. hlm. 9.
[6] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, op.cit. hlm. 434
[7] Dikutip dari Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, op.cit. vol I, hlm. 27-33.

Hukum Mengadakan Selamatan Rumah Baru

thumbnail


selamatan rumah baru

Seringkali kita menjumpai di tengah masyarakat terdapat tradisi selamatan (walimahan) ketika memasuki rumah baru, yang menurut orang jawa disebut dengan istilah " Slup-slupan ". Dalam acara tersebut, bisanya di isi dengan pembacaan surat al-Baqoroh, membaca al-Qur'an sampai selesai, Yasin, tahlilan dll, sesuai dengan keinginan masing-masing.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum mengadakan acara tersebut menurut perspektif fiqih?.
Jawab: Walimah yang diadakan ketika seseorang selesai dari membangun rumah atau membelinya dalam fiqih dikenal dengan istilah Walimah Waqîroh yang hukumnya disunnahkan.  
al-Bayân :
Terlebih dahulu perlu diketahui, bahwa selamatan (walimahan) yang diadakan ketika seseorang menempati rumah baru (slup slupan-jawa), menurut fiqih dikenal dengan istilah " Walimah Wakîroh[1] ".
Sebagaimana keterangan :
وَإِذَا بَنَى الرَّجُلُ دَارًا أَوِ اشْتَرَاهَا فَأَطْعَمَ قِيلَ طَعَامُ الْوَكِيرَةِ أَيْ مِنْ الْوَكْرِ
Ketika seseorang telah selesai membangun rumah atau membeli rumah, kemudian ia memberi jamuan makanan kepada orang lain, maka itu disebut tho'âmul wakîroh.[2]
      Sedang hukum mengadakan acara tersebut menurut madzhab Syafi'i masih terjadi perbedaan pendapat. Menurut sebagian ulama' menghukumi wajib, sedang menurut jumhurul ulama' menghukumi sunnah. Sebagaimana keterangan:
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ فِعْل الْوَكِيرَةِ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهَا : فَقَال الشَّافِعِيَّةُ : الْوَكِيرَةُ ـ كَسَائِرِ الْوَلاَئِمِ غَيْرَ وَلِيمَةِ الْعُرْسِ مُسْتَحَبَّةٌ، وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ،
Pakar ulama' fiqh masih beda pendapat dalam menghukumi mengadakan acara walimah wakiroh dan menghadiri undangannya. Ulama' Syafi'iyyah berkata, Walimah Wakirah itu hukumnya sama seperti walimah-walimah lainya yang selain Walimatul 'Urs, yaitu hukumnya sunnah bukan wajib menurut pendapat madzhab, dan pendapat ini didukung oleh jumhurul ulama'.[3]
الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ : هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ ، كَبَقِيَّةِ الْوَلاَئِمِ الَّتِي تُقَامُ لِحُدُوثِ سُرُورٍ أَوِ انْدِفَاعِ شَرٍّ ، وَتُسَمَّى الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ ( وَكِيرَةٌ ) -إِلَى أَنْ قَالَ- وَقَدْ ذَكَرَ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ قَوْلاً بِوُجُوبِهَا ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَال : بَعْدَ ذِكْرِ الْوَلاَئِمِ - وَمِنْهَا الْوَكِيرَةُ - : وَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا .
“Hukum mengadakan acara Walimah Lil Bina' itu dianjurkan oleh agama, sebagaimana walimah-walimah lainnya, yang mana walimah tersebut diadakan karena mendapatkan kebahagian yang baru datang atau terhindar dari kejelekan. Walimah lil Bina' juga disebut dengan Walimah Wakirah…Sebagian ulama' madzhab Syâfi'i mengutarakan satu pendapat yang menghukumi wajib, karena imam Syâfi'i setelah menuturkan beberapa walimah kemudian ia berkata, termasuk walimah adalah Walimah Wakirah, dan saya (imam Syâfi'i) tidak memberikan rukhsoh (tidak memberikan kemurahan) untuk meninggalkannya.[4]
Sedang mengisi acara Walimah Wakirah dengan pembacaan surat al-Baqoroh atau surat-surat lainnya hukumnya tidak apa-apa, selama tidak ada penghususan, bahkan hal tersebut dianjurkan oleh agama, dengan berdasarkan hadits Nabi r :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya rasulullah r telah bersabda, "Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syetan akan lari dari  rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah” (HR. Muslim no. 780).
إِنَّ قَوْلَهُ r ( لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا ) أَمَرَ مِنْهُ r بِأَنْ نَجْعَلَ شَيْئًا مِنْ عِبَادَتِنَا فِي الْبُيُوْتِ، مِنَ الصَّلاَةِ، وَمِنَ الذِّكْرِ، وَالدُّعَاءِ، وَتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ،
Ucapan beliau nabi yang berbunyi " Lâ taj'alû Buyutakum qubûron" maksudnya adalah beliau nabi r memerintahkan kepada kita agar rumah kita dijadikan tempat untuk beribadah, mulai dari membaca shalawat, dzikir, berdo'a dan membaca al-Qur'an.
إِنَّ لِكُلِّ شَىْءٍ سَنَامًا وَإِنَّ سَنَامَ الْقُرْآنِ الْبَقَرَةُ , مَنْ قَرَأَهَا فِىْ بَيْتِهِ لَيْلاً لَمْ يَدْخُلْهُ شَيْطَانٌ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ (أبو يعلى ، وابن حبان ، والطبرانى ، والضياء عن سهل بن سعد(
Setiap perkara itu memiliki punuk, sedangkan punuknya al-Qur'an adalah surat al-Baqoroh, barang siapa membaca surat al-Baqoroh dirumahnya pada malam hari, maka syetan tidak akan masuk kedalam rumah tersebut selama tiga hari ". [5]
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: مَا مِنْ بَيْتٍ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ إِلاَّ خَرَجَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضِرَاطٌ.
" Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ûd, ia berkata; tiada rumah yang didalamnya dibacakan surat Al-Baqoroh kecuali syetan akan keluar dari rumah tersebut dan lari terbirit-birit ".
وَمِنْهُ كُوْنُ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ يَفِرُّ مِنْهُ الشَّيْطَانُ، وَلاَ يَدْخُلُهُ أَبَدًا.اهــ
Rumah yang didalamnya dibacakan surat al-Baqoroh dan Ali 'Imron, maka syetan akan lari dari rumah tadi, dan tidak akan masuk kedalam rumah selama-lamanya.[6]
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : البيت الذي يقرأ فيه القرآن يتراءى لأهل السماء كما تتراءى النجوم لأهل الأرض
Dari 'Aisyah radliyallahu 'anhâ, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Rumah yang didalamnya dibuat membaca al-Qu'an, itu bisa terhilat oleh penghuni langit sebagaimana terlihatnya bintang-bintang bagi penghuni bumi".[7]
إِنَّ الْبَيْتِ الَّذِىْ يُتْلَى فِيْهِ الْقُرْآنُ اِتَّسَعَ بِأَهْلِهِ وَكَثُرَ خَيْرُهُ وَحَضَرَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَخَرَجَتْ مِنْهُ الشَّيَاطِيْنُ وَإِنَّ الْبَيْتَ الَّذِيْ لاَيُتْلَى فِيْهِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ ضَاقَ بِأَهْلِهِ وَقَلَّ خَيْرُهُ وَخَرَجَتْ مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَحَضَرَتْهُ الشَّيَاطِيْنُ.
Sesungguhnya sebuah rumah yang digunakan membaca al-Qur'an itu para ahlinya akan dilapangkan dan diluaskan rizkinya, banyak kebaikannya. Dihadiri para malaikat. Dan syetan-syetan akan keluar dari rumah tersebut. Dan sesungguhnya rumah yang tidak digunakan untuk membaca al-Qur'an penghuninya akan merasa sempit dan rizkinya sulit, sedikit kebaikannya, para malaikat keluar dari rumah tersebut, dan rumah tadi akan didatangi oleh syetan".[8]


[1] . Wakîroah secara bahasa berasal dari masdar Wakri yang berarti "sarang". Sedang pengertian Wakiroh adalah makanan yang dibuat oleh seseorang ketika selesai membangun. Secara isthilah adalah:
وَفِي الاِصْطِلاَحِ هُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُتَّخَذُ عِنْدَ الْفَرَاغِ مِنْ بِنَاءِ الدُّورِ فَيُدْعَى إِلَيْهِ
Wakirah secara ishtilah ialah makan yang dibuat ketika selesai mendirikan rumah.
[2]. Musykil al-Atsâr (CD Maktabah Syâmelah). vol IV hlm: 303. al-Fiqhu 'Alâ al-Madzâhib al-Arba'ah (CD Maktabah Syâmelah). vol II hlm: 22.. Al-Hâwî fî Fiqhi As-Syâfi'i (CD Maktabah Syâmelah). vol IX hlm: 555.  
[3] . al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuawtiyyah, (CD Maktabah Syâmelah). vol 45 hlm 116.
[4] . Ibid. vol VII hlm: 207.
[5] . Imam Suyuthi, "Jam'ul Jawâmi' Aw al-Jami'" Al-Kabir (CD Maktabah Syâmelah). vol I hlm: 7719. Hadits ke-1506.
[6] . Syarah Fath al-Majid. (CD Maktabah Syâmelah). vol 43 hlm: 6.
[7] . Abû Bakr  Ahmah bin al-Husain al-Baihaqî "Syuab al-Imân". (CD Maktabah Syâmelah). vol II hlm: 341.
[8] . Muhammad bin Muhammad al-Ghozâlî abû Hamid "Ihya' 'Ulûmuddîn". (CD Maktabah Syâmelah). vol I hlm: 274.